PDM Kabupaten Malang - Persyarikatan Muhammadiyah

 PDM Kabupaten Malang
.: Home > Artikel

Homepage

KEMATIAN DAN HARAPAN

.: Home > Artikel > PDM
07 Mei 2012 10:59 WIB
Dibaca: 5433
Penulis : Saiful Amien

Hadirin yang dirahmati Allah SWT

Saya ingin memulai renungan ini dengan menilik kembali kisah nyata yang pernah dikabarkan di salah satu stasiun televisi. Walaupun cerita ini telah lama, namun ada harapan semoga kita bisa mengambil I’tibar darinya.

Jejen (40 tahun) menceritakan bahwa peristiwa kematian Nana (71 tahun), ibunya sangat tiba-tiba dan tanpa diduga sama sekali. Tidak ada pertanda kalau ibunya sedang sakit atau apapun. Semuanya berjalan normal.

Saat itu telah masuk waktu Subuh, seperti biasanya sang ibu terjaga dengan sendirinya dan bergegas mengambil wudhu. Suara gemercik air membangunkan Jejen dari tidurnya. Tak lama kemudian, melalui celah-celah dinding gedek pemisah kamar mereka, secara perlahan Jejen mendengar bacaan shalat yang keluar dari mulut ibunya. Tiba-tiba ia mendengar suara “brukk!” yang cukup keras. Jejen terhentak dan beranjak menuju kamar ibunya dan didapati ibunya sudah tersungkur dalam posisi miring. Sementara kedua tangannya masih dalam posisi menengadah, sebagaimana layaknya orang yang tengah berdoa. “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.” ucap Jejen saat menyadari urat nadi ibunya tidak lagi berdenyut. Ibunya telah wafat. Lalu sebagaimana wasiat sang ibu, Jejen menguburkan jenazahnya di atas tanah miliknya, di sekitar rumahnya.

Lima belas tahun kemudian, saat Jejen sudah dikarunia dua orang anak dari pernikahannya dengan Fatimah, wanita yang sengaja dipilihkan ibunya, tiba-tiba muncul peristiwa di mana diketahui bahwa tanah waris ibunya telah berpindah tangan. Menurut pengakuan Jejen, dirinya tidak bisa berbuat apa-apa ketika muncul sosok yang mengaku sebagai ahli waris ibunya. Secara singkat Jejen menceritakan bahwa tanah yang ditempatinya itu adalah hak saudara ibunya. Sayang ketika ibunya meninggal, Jejen tidak mendapat wasiat maupun hak waris mengenai tanah yang ditempatinya itu. Ya barangkali karena memang Jejen hanyalah anak angkat ibu tua itu. Ibunya pun tak sempat bercerita mengenai asal muasal tanah itu.

Karena di antara tetangga ada yang mengetahui bahwa orang yang mengaku berhak atas tanah itu memang salah satu keluarga almarhumah, membuat posisi Jejen semakin lemah. Agar tidak terjadi keributan lebih panjang, Jejen akhirnya pasrah dan membiarkan orang tersebut menguasai tanah yang diakui sebagai haknya. Masalahnya adalah di atas tanah tersebut terdapat makam ibu Jejen sedangkan tanah itu akan segera dijual. Maka atas kesepakatan dalam musyawarah keluarga yang dihadiri oleh para tokoh masyarakat setempat, makam Nana akan dipindahkan ke tempat lain.

Penggalian kuburan pun dilakukan dan dipimpin oleh Ustadz Suhad, tokoh agama setempat yang juga guru mengaji almarhumah. Proses penggalian berlangsung lancar. Dari lubang kubur, ternyata mayat Nana masih terbungkus kain kafan. Peristiwa itu membuat Jejen, Ustadz Suhad serta beberapa orang yang turut menggali atau menyaksikannya terkejut. Setelah diangkat, subhanallah, ternyata Jenazah Nana masih utuh layaknya jenazah baru yang akan dimakamkan. Daging yang melekat di tubuh Nana tidak terasa lembek di tangan orang yang mengangkatnya. Jenazah Nana seperti tidak termakan oleh waktu dan tanah.

Orang-orangpun ramai memperbincangkan perihal jenazah tersebut. Siapakah Nana sebenarnya? Mengapa ia bisa mendapatkan satu dari tanda kematian yang khusnul khatimah tersebut? Dalam kehidupannya yang sederhana, Nana dikenal para tetangganya sebagai orang yang dermawan, taat beribadah, dan dapat menjadi contoh bagi kita semua. Mereka melihat pada diri Nana suatu pelajaran bahwa hidup manusia tidak berarti apa-apa jika jauh dari Allah SWT. Karenanya mendekatkan diri pada-Nya setiap saat merupakan jalan yang terbaik sebelum maut menjemput.[1]

 

Para Hadirin rahimakumullah..

Kullu nafsin dzaiqatul maut”. Semua yang hidup pasti akan mati. Siapapun kita, muslim atau kafir, kita tidak menafikannya. Karena secara kasat mata, kematian adalah realitas yang kita temukan sepanjang hidup ini. Setiap hari, setiap jam, setiap menit, bahkan mungkin setiap detik, ada yang mati. Selalu saja ada yang mati. Termasuk makhluk di sekitar kita, apakah yang telah kita namai atau belum. Termasuk manusia di sekeliling kita, apakah itu orangtua, saudara, sahabat, tetangga atau yang belum kita kenal.. Semuanya binasa. Dan dalam sanubari, kitapun haqqul yaqin bahwa diri ini bila tiba saatnya juga akan mati. Jadi kematian adalah real, suatu fakta yang pasti terjadi. Sehingga Imam Ja’far ash-Shadiq pernah bertutur: “Tidaklah Allah Azza wajalla menciptakan satu keyakinan yang di dalamnya tidak terdapat keraguan sedikitpun, atau bahkan hanya sekadar menyerupai keraguan, daripada kematian”[2].

Walaupun semua manusia satu keyakinan tentang realitas kematian, namun tidak semua memiliki satu sikap yang sama terhadapnya. Karena yang demikian itu sangat dipengaruhi oleh keberbedaan carapandang dan pemahaman terhadapnya. Ada di antara manusia yang berpandangan bahwa hidup ini hanya sekali yakni kehidupan duniawi semata dan kematian merupakan titik akhirnya maka mereka akan mengejar kelezatan duniawi dimanapun, kapanpun dan bagaimanapun caranya senyampang maut belum menjemput.

Sebagai seorang muslim, tentu tidaklah demikian carapandang kita, karena Islam telah mengajarkan bahwa kehidupan ini tidaklah berhenti di dunia semata tetapi merupakan satu paket perjalanan dunia-akhirat. Yang  pertama  dinamai  Al-Quran sebagai al-hayat ad-dunya (kehidupan yang rendah),  sedangkan  yang  kedua  dinamainya al-hayawan (kehidupan yang sempurna). Sebagaimana firman Allah:

وَمَا هَذِهِ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلاَّ   لَهْوٌ وَلَعِبٌ وَإِنَّ الدَّارَ الآخِرَةَ لَهِيَ الْحَيَوَانُ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ

“Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya negeri akhirat itu adalah al-hayawan (kehidupan yang sempurna) jika mereka mengetahui” (QS Al-’Ankabut [29]: 64).

Dijelaskan pula bahwa,

قُلْ مَتَاعُ الدَّنْيَا قَلِيلٌ وَالآخِرَةُ خَيْرٌ لِّمَنِ اتَّقَى وَلاَ تُظْلَمُونَ فَتِيلاً

Katakanlah: “Kesenangan di dunia ini hanya sebentar, sedang akhirat lebih baik bagi orang-orang bertakwa, dan kamu sekalian tidak akan dianiaya sedikitpun (QS Al-Nisa’ [4]: 77)

Carapandang inilah yang menjadikan kita, sebagai muslim, memiliki orientasi dan visi hidup yang melesat jauh ke depan. Visi hidup yang tidak berhenti ketika datang kematian tetapi melintasi pasca-kematian. Karena kematian sebagaimana dikatakan oleh Raghib Al-Isfahani sebagai proses perpindahan dari satu negeri (dunia) ke negeri yang lain (akhirat). Kematian walaupun kelihatannya adalah kepunahan, tetapi pada hakikatnya  adalah  kelahiran  yang  kedua. Kematian manusia dapat diibaratkan dengan menetasnya telur-telur.  Anak  ayam yang   terkurung   dalam   telur,   tidak   dapat   mencapai kesempurnaan evolusinya kecuali apabila ia menetas. Demikian juga  manusia,  mereka  tidak  akan mencapai kesempurnaannya kecuali apabila meninggalkan dunia ini (mati).

 

Para Hadirin yang dikasihi Allah..

Dari uraian di atas, jelaslah bagi kita bahwa kematian merupakan pintu menuju kehidupan yang lebih abadi. Di sanalah kehidupan yang sesungguhnya dipertaruhkan. Apakah dalam kenikmatan atau kesengsaraan. Hal itu tergantung pada kualitas amal kita pada saat hidup sebelum kematian (kehidupan duniawi) sebagaimana yang diisyaratkan oleh Allah:

تَبَارَكَ الَّذِي بِيَدِهِ الْمُلْكُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ. الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ.

Maha Suci Allah Yang di tangan-Nya lah segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu, Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun (QS. Al-Mulk: 1-2)

Karena itu, walaupun kehidupan duniawi seringkali disebut sebagai kehidupan yang rendah dan menipu namun kita tidak bisa meninggalkannya begitu saja karena di situlah ladang amal kita sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah saw: “ad-dunya mazra’atul akhirah” bahwa dunia itu adalah ladang akhirat. Bagaimana mungkin kita akan berpanen ria di akhirat kelak jika meninggalkan dunia, tanah ladang kita. “Sesungguhnya Allah swt, kata Imam Ali dalam Nahjul Balaghah, telah menjadikan dunia untuk masa sesudahnya, dimana penghuninya diuji untuk mengetahui siapakah yang terbaik kualitas amalnya, dan tidaklah untuknya kita tercipta, serta tidak pula dengan larut di dalamnya kita diperintah”. Di sinilah konsep kematian bagi kita melahirkan harapan sekaligus lecutan agar kita senantiasa waspada untuk mampu mengisi kehidupan duniawi ini dengan kesalehan-kesalehan yang terbaik sebagaimana dituntunkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Begitulah kiranya isti’dad (persiapan) untuk memasuki pintu keabadian. Dan selanjutnya, kita serahkan sepenuhnya kepada Allah SWT, semoga kita semua dimatikan dalam kusnul khatimah, amin…![]


Tags: KhutbahJum'at
facebook twitter delicious digg print pdf doc Kategori : Khutbah Jum'at

Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website