PDM Kabupaten Malang - Persyarikatan Muhammadiyah

 PDM Kabupaten Malang
.: Home > Artikel

Homepage

KRISIS MAKNA

.: Home > Artikel > PDM
07 Mei 2012 10:56 WIB
Dibaca: 4927
Penulis : Saiful Amien

ama’ah Jum’ah rahimakumullah..

Sebagai orang timur dan beragama Islam, sesungguhnya kita mewarisi banyak tatanan nilai yang mulia. Semua itu bertebaran dalam pelbagai symbol tradisi, ujaran, pitutur, nyanyian, dongeng dan firman-firman suci. Bisa dikatakan apa yang kita lihat, dengar dan rasakan semuanya sarat dengan ajakan kebajikan. Namun sayangnya, entah mungkin karena mata kita telah terbutakan, telinga kita telah tertulikan dan hati kita telah terbekukan sehingga semua nilai itu hanyalah formalitas hiasan dinding keberagamaan kita semata.

 

Di tengah penomena alam yang tidak terduga, dan di tengah penomena kehidupan yang begitu cepat berubah, tatanan nilai itu tampak lusuh, dingin, datar dan tanpa makna. Dari itulah, ada orang yang menyebut bahwa dari sekian krisis yang terjadi pada bangsa ini, yang terparah adalah krisis makna.

Kalaulah benar pembacaan ini, sungguh harga diri kita sebagai manusia telah terjatuh pada titik nadirnya, karena sesungguhnya potensi tertinggi yang dianugerahkan Allah SWT pada manusia adalah kecerdasannya untuk memaknai. Potensi inilah yang membedakan manusia dengan binatang, dan pada sisi inilah manusia tidak mampu dijelaskan oleh teori evolusi Darwin.

Sekali lagi, kalaulah benar pembacaan ini, maka tidak tertutup kemungki-nan kita termasuk golongan yang digambarkan oleh Allah SWT dalam firman-Nya (QS. Al-a’rof [7]:179)

وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِّنَ الْجِنِّ وَالإِنسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لاَّ يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لاَّ يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لاَّ يَسْمَعُونَ بِهَا أُوْلَـئِكَ كَالأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُوْلَـئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ

“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahanam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat, dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar. Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai”.

 

Jama’ah Jum’ah yang dirahmati Allah..

Orang bijak mengatakan, makna bukanlah untaian kata yang menghibur hati. Makna bukanlah kata-kata mutiara yang menenangkan jiwa. Namun makna adalah ketika apa yang dilihat, didengar, dirasakan, dipahami dan diyakini mampu menghadirkan perubahan di dalam tindakan nyata. Maksud dari itu semua adalah keterpaduan antara keyakinan iman dan amal kebajikan. Secara teologis, konsep ini dapat kita rujukkan pada setiap torehan kata “آمَنُوا” di dalam al-Qur`an, di mana senantiasa dilanjutkan dengan kata “و عملوا الصالحات”. Dengan kata lain, belumlah dikatakan beriman diri kita, jika keyakinan yang ada di hati ini belum mampu kita praksiskan dalam wujud amal kebajikan.

Muhammadiyah sebagai gerakan, sesungguhnya adalah wujud nyata dari konsep keberimanan di atas. Lambangnya matahari merupakan pertanda bahwa orang-orang persyarikatan ini selain mencerahkan mestilah senantiasa memberi tanpa harap kembali. Untuk itu, maka basis gerakannya bukanlah sekadar pemikiran yang melayang di awang-awang, tetapi lebih pada amal-usaha yang nyata di pelbagai sektor kehidupan. Dan agar amal itu kian optimal, maka selayaknyalah disinerjikan dalam kinerja organisasi yang baik. Karena sebenar apapun amal kebajikan, jika tidak diorganisir dengan baik, selain tidak efektif, juga akan tergerus oleh kebatilan yang terorganisir.

الحقّ بلا نظام يغلبه الباطل بنظام

Kini, marilah kita berkaca. Merasuk ke dalam diri kita, jangan-jangan keimanan kita baru sebatas bualan tanpa tindakan, hanya sekadar pengetahuan tanpa makna, atau hanyalah interpretasi tanpa aksi. Kalau demikian adanya, maka kebinasaanlah jadinya. Muhammad Iqbal (pujangga Muslim Pakistan) pernah mengingatkan dengan syairnya: “Hidup tak ubahnya adalah lukisan dan puisi, semuanya adalah ekspresi. Kontemplasi tanpa aksi adalah kematian”.

oOo

Pada khutbah kedua ini, khatib ingin menambahkan renungan sebelumnya dengan mengajak menelisik pada kisah nyata yang dikutip dari sebuah tabloid Islam di London, Inggris berikut ini:

Adalah seorang imam masjid di London, yang setiap hari pergi pulang dari rumahnya ke  masjid dengan mengendarai bus umum. Ongkos bus tersebut dibayar pakai kartu (card), atau langsung ke sopir karena bus tidak memiliki kondektur. Setelah bayar, baru kemudian mencari tempat duduk yang kosong.

Sang imampun membayar ongkos pada sopir lalu menerima kembalian, sebab hari itu ia tidak punya uang pas, baru kemudian duduk di bangku belakang yang kebetulan kosong.

Di tempat duduknya, ia menghitung uang kembalian dari sopir yang ternyata kelebihan 20 sen. Sejenak olehnya terpikir, uang ini dikembalikan atau tidak yah? Ah hanya 20 sen saja kok? Lagian sopirnya juga orang kafir, atau aku masukkan saja ke kotak amal di masjid??

Setelah sampai di tempat tujuan, ia pun hendak turun dengan berjalan
melewati sopir bus tersebut. Dalam hatinya masih bergejolak atas uang 20 sen
itu, antara dikembalikan atau tidak. Namun ketika sampai di dekat sopir,
spontan iapun mengulurkan 20 sen sambil berkata: “Uang kembaliannya berlebih 20sen”.

Tanpa disangka tanpa dinyana.. sopir itu mengacungkan jempol seraya berkata:”Anda berhasil..!!!”.

“Apa maksud Anda..?” Tanya sang imam.

“Bukankah anda imam masjid yang di sana tadi?” Tanya sopir.

“Betul” jawabnya

Lantas sopir itu berkata… “Sebenarnya sejak beberapa hari ini saya ingin datang ke masjid Anda untuk belajar dan memeluk Islam.. tapi timbul keinginan di hati saya untuk menguji Anda sebagai imam masjid, apa benar Islam itu seperti yang saya dengar: jujur, amanah dan sebagainya. Saya sengaja memberikan kembalian berlebih dan anda berhasil. Saya akan masuk Islam”. Kata sopir tersebut..

Alangkah tercengangnya imam masjid tersebut, sambil beristighfar meyesali apa yg dipikirkannya tadi. Hampir saja ia kehilangan kepercayaan hanya dengan uang 20 sen itu. Astaghfirullah…

 

Jama’ah Jum’ah yang dirahmati Allah SWT..

Kisah di atas menunjukkan tentang bagaimana kesejatian iman seorang Muslim senantiasa akan diuji. Apakah sebatas keyakinan tanpa makna, atau menyatu dengan sikap dan amal kebajikan kepada siapa saja, kapan saja, di mana saja, dan di hadapan siapa saja…

Ujian keimanan itu akan selalu kita hadapi, karena sesungguhnya kehidupan ini Allah ciptakan memang untuk menguji siapa di antara hambaNya yang paling banyak dan paling baik beramal. Sebagaimana Allah berfirman dalam QS: Al-Mulk: 2:

الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ

Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang paling baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun“.

Amal yang baik, cirinya adalah karena dilandasi niatan ibadah yang penuh keikhlasan. Tanpa ikhlas, amal seseorang akan sia-sia tidak berguna dan tidak dipandang sedikitpun oleh Allah swt. Imam Al-Ghazali menuturkan, “Setiap manusia binasa kecuali orang yang berilmu. Orang yang berilmu akan binasa kecuali orang yang beramal (dengan ilmunya). Orang yang beramal juga binasa kecuali orang yang ikhlas (dalam amalnya). Namun orang yang ikhlas juga tetap harus waspada dan berhati-hati dalam beramal”.

Dalam hal ini, hanya orang-orang yang ikhlas beramal yang akan mendapat keutamaan dan keberkahan yang sangat besar, seperti yang dijamin Allah dalam firmanNya,

إِلَّا عِبَادَ اللهِ الْمُخْلَصِينَ. أُوْلَئِكَ لَهُمْ رِزْقٌ مَّعْلُومٌ. فَوَاكِهُ وَهُم مُّكْرَمُونَ

Tetapi hamba-hamba Allah yang dibersihkan (bekerja dengan ikhlas). Mereka itu memperoleh rezki yang tertentu, yaitu buah-buahan. Dan mereka adalah orang-orang yang dimuliakan, di dalam syurga-syurga yang penuh kenikmatan”. (Ash-Shaaffat: 40-43)


Tags: KhutbahJum'at
facebook twitter delicious digg print pdf doc Kategori : Khutbah Jum'at

Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website