PDM Kabupaten Malang - Persyarikatan Muhammadiyah

 PDM Kabupaten Malang
.: Home > Artikel

Homepage

LAFADZ IJAB QABUL, HARUSKAH MENIKAH DALAM KEADAAN SUCI, CARA PEMOTONGAN AYAM, DAN TELUR DARI AYAM YANG MATI

.: Home > Artikel > PDM
03 April 2012 11:26 WIB
Dibaca: 11396
Penulis :

(Disidangkan pada hari Jum’at, 29 Jumadilawal 1431 H / 14 Mei 2010 M)

 

Pertanyaan:

 

1.      Dalam ikrar ijab qabul dalam bahasa Indonesia ada tiga jawaban mempelai pria:

a.       Saya terima nikahnya ... (dengan jawaban ini seolah-olah mempelai wanita menikahi mempelai pria)

b.      Saya terima menikahi

c.       Saya terima.

Dari ketiga jawaban ini mana yang paling benar?

2.      Nikah itu suci. Karena nikah itu suci, apakah ada ketentuan pada waktu dinikahkan kedua mempelai dalam keadaan suci?

3.      Di satu tempat pemotongan ayam cabut bulu, si penyembelih menyembelih ayam dengan cara sebagai berikut: Tangan kiri penyembelih memegang kedua sayap ayam jadi satu, dengan posisi ayam ditelentangkan kaki di atas, tangan kanan penyembelih memegang pisau dan menyembelih leher ayam hingga keluar darah. Ayam belum sempat mati langsung dimasukkan ke dalam bak yang berisi air panas untuk proses cabut bulu. Dengan cara demikian seolah-olah ayam mati tenggelam, bukan mati karena disembelih. Karena banyaknya ayam yang disembelih, diragukan juga penyembelihan membaca basmalah.

Apakah cara demikian bisa dibenarkan menurut ajaran Islam?

4.      Seorang peternak ayam petelur bercerita ada ayam petelurnya mati seketika. Si peternak ayam yakin dipantat ayamnya yang sudah mati itu ada telur yang sudah jadi belum sempat keluar. Oleh si peternak, telur dari ayam yang sudah mati itu diambil dengan cara mengiris pantat ayam. Apakah telur yang diambil dari ayam yang sudah mati itu halal?

Atas jawaban pengasuh saya ucapkan terima kasih.

 

 

Jawaban:

 

Dari empat pertanyaan di atas ada dua pokok pembahasan, yaitu dua pertanyaan tentang pernikahan dan dua pertanyaan lainnya tentang penyembelihan.

1.      Pertanyaan pertama tentang ucapan ijab qabul sebenarnya sudah pernah dibahas dan dapat dilihat pada buku Tanya Jawab Agama Jilid 2 halaman 144 terbitan Suara Muhammadiyah, sehingga bisa saudara pelajari kembali. Namun demikian baiklah kami akan menjawabnya. Sebelum menjawab, perlu kami jelaskan terlebih dahulu bahwa keabsahan nikah itu adalah jika telah terpenuhinya rukun nikah yaitu adanya dua orang mempelai, wali, dua orang saksi, sighat akad nikah (ijab qabul) dan mahar (maskawin). Adapun yang dimaksud shighat akad nikah atau ijab qabul adalah perkataan seorang wali nikah ketika menikahkan anak perempuannya kepada mempelai pria, ini disebut ijab, dan jawaban mempelai pria untuk menerimanya, disebut qabul. Shighat akad nikah bisa menggunakan bahasa Arab atau yang lainnya yang mudah dipahami, hanya saja di kalangan ulama mensyaratkan dalam akadnya itu dengan menggunakan kata nikah atau kata ziwaj, tidak boleh dengan kata jodoh atau partner atau pasangan dan sebagainya.

Contoh ucapan ijab (kalau walinya ayah mempelai perempuan), adalah:

يَا أحْمَدَ أَنْكَحْتُكَ وَزَوَّجْتُكَ بِنْتِيِّ فَاطِمَةَ بِمَهْرِ الْقُرآنِ

Artinya: “Hai Ahmad, Aku nikahkan dan aku kawinkan engkau dengan anak perempuanku Fatimah dengan maskawin kitab suci al-­Qur’an.”

Adapun contoh qabulnya (yang menerima mempelai pria) sebagai berikut:

قَبِلْتُ نِكَاحَهَا وَتَزْوِيْجَهَا لِيْ بِاْلمَهْرِ اْلمَذْكُوْرِ

Artinya: “Aku menerima pernikahan dan perkawinannya bagi saya dengan maskawin yang telah disebutkan tadi (kitab suci al-­Qur’an).”

Dari uraian di atas, maka untuk menjawab pertanyaan saudara, yang manakah contoh ucapan qabul yang paling benar, antara: “Saya terima nikahnya ...” (dengan jawaban ini seolah-olah mempelai wanita menikahi mempelai pria), atau “Saya terima menikahi ...”, atau “Saya terima”, pada prinsipnya ketiga bentuk ucapan qabul tersebut benar dan tidak ada yang salah. Hal ini karena masalah bahasa dan masalah bahasa tidak menjadi persoalan dengan menggunakan bahasa apapun, asalkan mudah dipahami dan maknanya benar. Namun demikian, ucapan qabul yang pertama pada contoh di atas, yaitu: قَبِلْتُ نِكَاحَهَا وَتَزْوِيْجَهَا لِيْ بِاْلمَهْرِ اْلمَذْكُوْرِ, dipandang lebih lengkap dan mudah dipahami, dan tidak berartimaksudnya seorang mempelai wanita yang menikahi mempelai pria, karena yang menikahkan itu adalah wali (orang tua) dari mempelai wanita dan mempelai pria menjawab atau menerima apa yang disampaikan oleh wali nikah tadi.

Perlu kami sampaikan pula, bahwa jika saudara akan menikah atau menikahkan, sebaiknya menggunakan redaksi ijab qabul yang telah umum berlaku dan bisa ditanyakan kepada Kantor Urusan Agama setempat selaku pihak yang berwenang mencatat pernikahan secara Islam.

 

2.      Nikah itu adalah suci, yang dimaksud suci di sini adalah perbuatan yang terpuji, yang sakral, karena ikatan pernikahan adalah mitsaqan ghalidzan (ikatan yang kuat). Allah SWT berfirman:

y#ø‹x.ur¼çmtRrä‹è{ù's?ô‰s%ur4Ó|Óøùr&öNà6àÒ÷èt/4’n<Î)<Ù÷èt/šcõ‹yzr&urNà6ZÏB$¸)»sV‹ÏiB$Zà‹Î=xî[النسآء (4): 21]

Artinya: “Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.” [QS. an-Nisa (4): 21]

Dengan menikah, orang dapat menahan pandangan serta memelihara kemaluan. Nabi Muhammad saw bersabda:

مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ ، لأَنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ [رواه البخاري]

Artinya: “Barangsiapa di antara kamu mampu menikah, maka menikahlah karena nikah dapat menahan pandangan serta memelihara kemaluan (kesucian).” [HR. al-Bukhari]

Suci di sini tidak dikaitkan dengan sah atau tidak sah pernikahan seseorang, berbeda dengan ketika seseorang hendak mengerjakan shalat maka ia harus suci (dari hadas maupun najis), sehingga sebelum shalat terlebih dahulu harus bersuci dengan berwudlu, mandi atau tayamum sesuai kondisinya. Tidak sah shalat jika tidak terpenuhi kesucian, karena suci merupakan bagian dari syarat sahnya shalat.

Sedangkan dalam melangsungkan akad nikah tidak ada persyaratan harus suci dari hadas maupun najis. Adapun yang disyaratkan oleh agama untuk terpernuhi sahnya nikah seseorang hendaklah memperhatikan beberapa hal, di antaranya orang yang dinikahi bukan mahram (lihat QS. an-Nisa [4]: 23), terpenuhi rukun nikahnya seperti adanya wali, sebagaimana sabda Nabi saw: لاَ نِكَاحَ اِلاَ بِوَلِىٍ, artinya: “Tidak sah nikah kecuali dengan seorang wali” [HR. Malik], juga disyaratkan bagi seorang wanita yang sudah bercerai dan akan menikah lagi harus menunggu masa iddahnya sesuai dengan bentuk dan lamanya masa iddah, seperti iddah karena cerai baik yang belum atau sudah haid, iddah karena hamil maupun karena ditinggal wafat suaminya.

Kesimpulannya, orang boleh menikah walaupun dalam keadaan tidak suci (punya hadas dan belum berwudhu) atau dalam keadaan haid (belum mandi wajib karena belum selesai haidnya) dan nikahnya tetap sah karena tidak ada syarat harus suci dari hadas maupun najis ketika akan menikah.

 

3.      Sebelum menjawab pertanyaan saudara tentang ayam yang disembelih dan langsung dimasukkan ke air panas untuk dicabut bulunya, perlu kami jelaskan terlebih dahulu tentang sembelihan yang benar menurut ajaran Islam agar tidak ada kesalahan dalam proses penyembelihan dan tidak ada keraguan tentang kehalalan dari binatang yang disembelih tersebut.

Sembelihan adalah semua binatang halal untuk dimakan yang disembelih baik dengan cara berbaring (dzabh) maupun dengan cara berdiri (nahr) pada saat penyembelihan. Yang dimaksud dengan dzabh adalah menyembelih dengan posisi hewan berbaring dengan cara memotong tenggorokan dan dua urat lehernya, sedangkan nahr adalah menyembelih dengan posisi hewan tetap berdiri seperti menusuk unta pada bagian libbahnya. Libbah adalah tempat menggantungkan kalung pada leher, dan itu adalah posisi di mana alat penyembelihan dapat mencapai hati sehingga binatang yang disembelih akan mati dengan cepat.

Penyembelihan dianggap sah apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a.       Alat penyembelihan harus tajam, yang dapat mengalirkan darah, berdasarkan sabda Rasulullah saw yang diriwayatkan oleh Rafi’ bin Khadij. Ia berkata:

يَا رَسُوْلُ اللهِ اِنَّا لاَقُوْا العَدُوَ غَدًا وَلَيْسَ مَعَنَا مُدًىقاَلَ ماَ اَنْهَرَ الدَمَ وَذُكِرَ اسْمُ اللهِ عَلَيْهِ فَكُلْ لَيْسَ السِنَ وَالظُفْرَ وَسَأُحَدِثُكَ أَماَ السِنُ فَعَظْمٌ وَاَمَا الظُفْرُ فَمُدَى الْحَبَشَةِ [رواه أحمد والبيهقي]

Artinya: “Ya Rasulullah sesungguhnya kami besok akan berhadapan dengan musuh dan kami tidak mempunyai pisau (untuk sembelih). Maka Nabi saw bersabda: Apa saja yang bisa mengalirkan darah dan disebutkan atasnya nama Allah, makanlah (sembelihan tersebut) apabila yang dipakai untuk penyembelihan itu bukan dengan gigi dan kuku. Dan saya akan menerangkan itu kepadamu. Adapun gigi itu adalah tulang dan adapun kuku itu adalah pisau menurut kaum Habasyah.” [HR. Ahmad dan al-Baihaqi]

b.      Menyebutkan nama Allah atau membaca basmalah saja, berdasarkan firman Allah SWT dalam surat al-An’am (6): 121;

Ÿwur(#qè=à2ù's?$£JÏBóOs9̍x.õ‹ãƒÞOó™$#«!$#Ïmø‹n=tã¼çm¯RÎ)ur×,ó¡Ïÿs93¨bÎ)uršúüÏÜ»u‹¤±9$#tbqãmqã‹s9#’n<Î)óOÎgͬ!$u‹Ï9÷rr&öNä.qä9ω»yfã‹Ï9(÷bÎ)uröNèdqßJçG÷èsÛr&öNä3¯RÎ)tbqä.Ύô³çRmQÇÊËÊÈ[الأنعام (6): 121]

Artinya: “Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu; dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-arang yang musyrik.”

c.       Memotong tenggorokan dan dua urat leher dalam satu gerakan.

d.      Penyembelih adalah seorang muslim berakal yang sudah baligh. Madzhab Hanafi membolehkan penyembelih adalah seorang ahli kitab.

Dari uraian di atas, maka dalam kasus yang saudara ajukan, jika sudah terpenuhi semua persyaratan di atas dan sudah jelas ayam tersebut mati, tidak salah jika langsung dimasukkan ke dalam air panas untuk proses cabut bulu. Namun jika ayam belum mati secara sempurna, sebaiknya tidak langsung dimasukkan ke dalam air panas karena bisa jadi ayam tersebut akan merasakan sakit yang lebih lama daripada disembelih itu sendiri. Hal ini karena selain harus terpenuhinya syarat-syarat di atas, juga harus diperhatikan pula adab atau etika kepada hewan tersebut, seperti tidak dengan alat sembelihan yang tumpul sehingga lebih terasa sakitnya dan lama matinya, tidak menampakkan alat sembelihan di hadapan hewan yang akan disembelih dan tidak menguliti sebelum matinya sempurna, termasuk memasukkannya ke dalam air panas untuk cabut bulu. Beberapa hadis yang menjelaskan tentang hal ini antara lain adalah:

a.       Hadis dari Syadad bin Aus, bahwa Rasulullah saw bersabda:

إِنَ الله َكَتَبَ الْإحْسَانَ عَلىَ كُلِ شَيْءٍ فَإِذَا قَتَلْتُمْ فَأَحْسِنُوا اْلقِتْلَةَ وَإِذَا ذَبَحْتُمْ فَأَحْسِنُوا الذِبْحَ وَلْيُحِدَّ أَحَدُكُمْ شَفْرَتَهُ فَلْيُرِحْ ذَبِيْحَتَهُ.[رواه مسلم]

Artinya: “Sesungguhnya Allah telah memerintahkan untuk berbuat ihsan (kebaikan) pada tiap-tiap urusan, maka apabila kamu membunuh maka perbaikilah cara membunuhnya, dan apabila kamu menyembelih maka perbaikilah cara sembelihannya dan tajamkanlah pisaumu dan entengkanlah binatang sembelihanmu.” [HR. Muslim]

b.      Hadis dari Ibnu Umar:

اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ اَمَرَ اَنْ تُحَدَّ الشِفَارُ وَاَنْ تُوَارَ عَنِ اْلبَهَائَِمِ وَقَالَ : اِذَا ذَبَحَ اَحَدُكُمْ فَلْيَجْهَزْ. [رواه أحمد وابن ماجه]

Artinya: “Bahwa Rasulullah saw telah memerintahkan supaya pisau itu ditajamkan dan supaya tidak dinampakkan kepada binatang-binatang, dan beliau bersabda: Apabila seorang daripada kamu menyembelih. maka hendaklah ia bikin mati dengan lekas.” [HR. Ahmad dan Ibnu Majah]

 

Sedangkan mengenai membaca basmalah ketika menyembelih, yakni apakah sembelihan orang Islam sudah dianggap sah sekalipun tidak membaca basmalah, di sini memang terjadi perbedaan pendapat. Perbedaan pendapat perlu kita hargai dan kami berpendapat bahwa sembelihan orang Islam itu halal dimakan sekalipun ketika menyembelih itu tidak membaca basamalah, hal ini berdasarkan alasan:

a.       Firman Allah SWT dalam surat al-Maidah (5): 3;

Artinya: “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, …” [QS. al-Maidah (5): 3]

 

Kalimat وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ, “dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya ...”. Kalimat “melainkan apa yang telah kamu sembelih” maksudnya adalah orang Islam.

 

b.      Hadis Nabi saw yang diriwayatkan dari Abu Hurairah:

جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم- فَقَالَ : يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ الرَّجُلَ مِنَّا يَذْبَحُ وَيَنْسَى أَنْ يُسَمِّىَ فَقَالَ النَّبِىُّ  اسْمُ اللَّهِ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ [رواه البيهقي]

Artinya: “Seorang laki-laki datang kepada Nabi saw kemudian berkata: Wahai Rasulullah, bagaimana engkau memandang kepada seorang lelaki yang menyembelih tetapi kelupaan menyebut nama Allah? Nabi saw menjawab: Bahwa nama Allah itu ada pada tiap-tiap orang Islam.” [HR. al-Baihaqi]

 

c.       Hadis Nabi saw yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas:

أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ الْمُسْلِمُ يَكْفِيهِ اسْمُهُ فَإِنْ نَسِىَ أَنْ يُسَمِّىَ حِينَ يَذْبَحُ فَلْيُسَمِّ وَلْيَذْكُرِ اسْمَ اللَّهِ ثُمَّ لْيَأْكُلْ. [رواه الدارقطني والبيهقي]

Artinya: “Bahwanya Nabi saw pernah bersabda: Orang Islam itu dicukupi oleh namanya (sendiri). Apabila kelupaan menyebut basmalah tatkala menyembelih, maka segera membaca “basmalah” kemudian makanlah.” [HR. ad-Daruquthni dan al-Baihaqi]

 

d.      Hadis Nabi saw yang diriwayatkan dari Aisyah:

إِنَّ قَوْمًا قَالُوْا يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّ قَوْمًا يَأْتُوْنَنَا بِالَلحْمِ وَلاَ نَدْرِيْ أَذَكَرُوا اسْمَ اللهِ عَلَيْهِ أَمْ لاَ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم سَمُوا اللهَ عَلَيْهِ وَكُلُوْهُ. [رواه البخاري]

Artinya: “Sesungguhnya ada suatu kaum bertanya: Wahai Rasulullah sesungguhnya orang-orang biasa datang kepada kami sambil membawa daging padahal kami tidak mengetahui apakah mereka itu sudah disembelih dengan menyebut nama Allah atau belum. Maka Rasulullah saw bersabda: Sebutlah nama Allah padanya kemudian makanlah.” [HR. al-Bukhari]

 

Berdasar pada keterangan di atas, maka bagi seseorang yang akan menyembelih hendaklah diawali dengan membaca basmalah dan seorang muslim hendaknya berhusnudz-dzan (prasangka baik) bahwa sembelihan seorang muslim lain itu adalah halal sekalipun terlupa atau tidak membaca basmalah sama sekali. Jika sembelihan dalam jumlah yang banyak yang tidak mungkin membaca basmalah setiap satu ekor ayam yang disembelih, maka dicukupkan membacanya sekali di awal penyembelihan, dan bagi kita yang memakannya dicukupkan dengan membaca basmalah ketika akan makan jika penyembelihnya seorang muslim.

 

4.      Perlu diketahui bahwa makanan yang diharamkan telah dijelaskan dalam al-Qur’an maupun hadis. Firman Allah dalam al-Qur’an surat al-Maidah (5): 3;

 

 

Artinya: “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, …” [QS. al-Maidah (5): 3]

 

Di antara makanan yang diharamkan adalah bangkai. Yang dimaksud bangkai adalah binatang yang mati secara alami seperti tercekik, terpukul, tertanduk oleh binatang lain atau diterkam binatang buas. Berkaitan dengan pertanyaan saudara, ayam yang sudah mati jelas haram dimakan karena termasuk kategori bangkai. Namun, apakah telor yang ada pada dubur ayam yang sudah mati tersebut termasuk haram atau tidak? Memakan telor dari binatang yang bertelor yang keluar pada waktu hidupnya tidak syak (ragu) lagi tentang halalnya, baik binatang yang hidup di darat maupun yang hidup di air. Sedangkan telor dari binatang yang sudah mati karena disembelih itupun jelas halalnya. Namun jika matinya karena tidak disembelih, bisa jadi ada yang beranggapan haram lantaran keluarnya dari binatang yang sudah menjadi bangkai, maka telornya pun ikut menjadi bangkai, jadi sama haramnya.

Dalam pandangan kami, bahwa telor yang ada pada dubur ayam yang sudah mati pada dasarnya tetap halal untuk dimakan, sekalipun ayam tersebut mati tanpa disembelih. Hal ini karena telor tersebut telah keluar dari perut ayam, hanya saja belum sempat keluar dari dubur ayam yang kemudian mati mendadak tersebut, sehingga bukan bagian dari bangkai. Meskipun demikian, yang perlu diwaspadai adalah penyebab kematian ayam yang mendadak tersebut, karena bisa jadi karena penyakit yang berbahaya, seperti flu burung misalnya. Oleh sebab itu, meskipun pada dasarnya telor tersebut halal untuk dimakan, namun demi menjaga kesehatan sebaiknya tidak usah dikonsumsi, mengingat kematian ayam yang mendadak tersebut bisa jadi karena penyakit yang bisa menular melalui telornya.

Wallahu a‘lam bish-shawab.*ay)


Tags:
facebook twitter delicious digg print pdf doc Kategori : tarjih Muhammadiyah

Berita

Agenda

Pengumuman

Link Website